Pesta
kematian padang Karbala
Ada yang rutin ditemukan pada
‘khazanah’ tradisi di Indonesia selama mengisi sepuluh hari bulan Muharram.
Na’am, beberapa perhelatan massal kerap ditemui rutin di beberapa kota besar.
Acara yang digelar tiap tahunnya ini diikuti oleh hampir sebagian besar umat
muslim, baik di perkotaan maupun di pelosok dengan usungan tradisi yang
berbeda-beda nama. Sebut saja dua macam yang mewakilinya, yaitu perayaan Tabot
di Bengkulu dan perayaan Tabuik di Padang, Sumatera Barat.
Dua jenis tradisi ini sangat
dikenal di masyarakat dan selalu menyedot antusias masyarakat. Uniknya, hal ini
sudah dibakukan menjadi salah-satu ‘aset’ yang memiliki nilai daya-jual dalam
mengundang minat para wisatawan agar bertandang ke daerah yang telah mencanangkan
diri sebagai tujuan obyek wisata tersebut. Wajar bila instansi pemerintah yang
terkait, juga ‘turun-tangan’ dalam program yang bisa mendongkrak popularitas
budaya dan pariwisata daerahnya tersebut.
Hal ini sesuai pernyataan Kadin
Perhubungan Komunikasi & Informatika—Eko Agusrianto, seperti yang dilansir
ANTARA Bengkulu (rabu, 7/11/2012), bahwa pemerintah propinsi Bengkulu
menyediakan dana sebesar 800 juta rupiah untuk membantu pemerintah kota
Bengkulu dalam menggelar festival Tabot, dikatakannya, “Seperti tahun
sebelumnya, pemerintah propinsi Bengkulu dan pemerintah kota Bengkulu akan
berperan maksimal untuk menyukseskan agenda tahunan ini.” Festival yang akan
diadakan pada 14-24 November 2012 tersebut memang diharapkan mampu untuk
mengangkat khazanah budaya dan pariwisata di Bengkulu.
Serupa dengan Bengkulu yang
tengah bersiap mempercantik daerahnya, perayaan Tabuik juga dikatakan selalu
‘laku’ dalam menarik minat masyarakat. Terbukti dari setiap tahunnya, perayaan
bernuansa religi ini tak pernah sepi
kunjungan. Konon, dahulunya perayaan yang sudah dimulai tahun 1824 ini
dilakukan oleh para pedagang Islam yang berasal dari Aceh, Bengkulu, India,
bahkan negeri Arab.
Berikut sedikit info tentang
kedua perayaan massal tersebut;
Baca
artikel selengkapnya di PADANG
KARBALA tafhadol
Perayaan
Tabot
Selain itu, yang lain mengatakan
pula bahwa adat tersebut diperkenalkan oleh para ahli bangunan yang saat itu
bekerja dalam membangun benteng
Marlbourght di Bengkulu. Mereka yang juga disebut masyarakat Sipai, berasal
dari daerah Madras dan Bengali. Dari sebagian mereka yang ‘kerasan’
berkehidupan di Bengkulu lah tradisi perayaan Tabot bermula.
Kata ‘Tabot’ berasal dari bahasa
Arab yaitu التَّابُوْتُ yang berarti sebuah kotak atau peti.
Seperti tertera keterangan di surat al-Baqarah di ayat ke-248 bahwa tabut
adalah sebuah peti yang berisikan kitab Taurat yang dapat membawa ketenangan
kepada kaum nabi Musa as yaitu bani Israil. Kala itu bani Israil sangat
mempercayai bahwa tabut akan mampu memberikan kebaikan selama berada di
kekuasaan pemimpin mereka, namun bila tabut itu raib, maka kegoncangan dan
bala-bencanapun diyakini akan menimpa kehidupan mereka. Oleh karena itulah,
mereka amat menjaga tabut ini dan menjadikannya sebuah ritual hingga kini.
Di setiap perayaannya, jumlah
tabut yang diusung tak hanya satu, namun bisa mencapai puluhan yang biasanya
terdiri dari belasan peti yang dianggap sakral dan puluhan peti yang
dikreasikan dengan bentuk bebas. Yang menjadi daya-pikatnya adalah kemasannya
yang sangat attractive dan dibentuk sedemikian rupa dengan berbagai ornamen
warna-warni yang amat mencolok-mata—membuat center-piece inipun disukai
masyarakat yang tetap mengikutinya hingga perayaan berakhir.
Selain itu, pengarakan
tabut-tabut yang penuh kemeriahan inipun disandingkan dengan perayaan hari
kematian Husain bin Ali bin Abi Thalib, salah-seorang cucu Rasulullah saw yang
tewas pada 10 Muharram 681 M dalam menghadapi pasukan Ubaidullah bin Ziyad di
daerah Padang Karbala, Irak.
Diyakini oleh masyarakat Bengkulu
yang aktif mengikuti perayaan ini bahwa perayaan Tabot memiliki ragam nilai,
baik dari segi agama, sejarah, sosial, maupun budaya. Ditilik dari sudut agama
katanya ritual ini merupakan ikut bersuka-citanya akan kehadiran bulan
Muharram, selain itu menanamkan rasa cinta sekaligus duka-cita yang mendalam
atas terbunuhnya Husain ra. Dari sudut sejarah, ia mengingatkan akan peristiwa
Asyuro’ di Padang Karbala yang sangat menyayat hati dan mengundang kemurkaan.
Sementara jika dilihat dari sisi sosial, perayaan Tabot dipercaya dapat
menumbuhkan sikap kebersamaan serta rasa solidaritas yang tinggi. Dan untuk
sisi budaya, ia merupakan aset kebanggaan yang menjadi salah-satu ciri
perkembangan tradisi di Bengkulu sejak ratusan tahun lalu.Baja
ringan
Karena ditinjau dari alasan
itulah, maka kegiatan tahunan ini juga mendapat perhatian serius dari Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata propinsi Bengkulu. Seperti dikatakan Buyung
Asril–sekretaris dinas lembaga pemerintah daerah tersebut yang dilansir Info
Publik (5/12/2011) bahwa festival Tabot tersebut sudah mendapat dukungan lembaga
pemerintah setempat yang salah-satu bentuk dukungannya adalah dengan
penggalangan dari sudut promosi untuk disyiarkan melalui media massa sehingga
gaungnya semakin meluas. Dikatakannya pula bahwa perayaan Tabot menjadikan
adanya ‘hubungan emosional’ dengan dunia internasional, yaitu Irak dengan sejarah tragedi di Padang Karbalanya
dan Iran dengan pesta Asyura’nya.
Perayaan
Tabuik
Adapun ritual yang terdapat di
dalam perayaan Tabuik ini diantaranya adalah upacara Maatam Panja yang
dilaksanakan tanggal 7 Muharram dan ditunaikan setelah sholat dzuhur. Ritual
ini dikerjakan dengan mengitari sebuah daraga sambil menangis sebagai tanda
duka-cita atas terbunuhnya Husein ra. Ada pula ritual Maarak Panja, yaitu
pengarakan sebuah kubah yang terbuat dari bambu dan kertas, dimana kertas ini
digambari jari-jari yang terputus, yang diseolahkan jari-jari Husein ra yang
telah dipotong pada peristiwa Karbala. Kubah tersebut akan diarak mengelilingi
kampung dan mengisyaratkan kesedihan akan tewasnya cucu Rasulullah tersebut.
Kemudian di keesokkan harinya ada ritual Maarak Sorban, yaitu pengarakan yang
menggambarkan peristiwa kepala Husein ra yang telah dipenggal dan juga
memperlihatkan kekejaman Yazid bin Muawwiyah.
Sedianya, bangunan-bangunan bambu
tersebut diusung hingga ke laut untuk dihanyutkan di hari terakhir yaitu hari
ke-10 Muharram, bertepatan ketika waktu adzan maghrib dikumandangkan.
Perhelatan ini tentu saja selalu membuat suasana kota ‘tanduk kerbau’ itu menjadi
ramai bahkan padat karena kunjungan. Momen ini juga dimanfaatkan sebagian besar
pedagang untuk menjajakan barang dagangan yang mereka beroleh laba karenanya.
Para pedagang tampak bersemangat atas hasilnya yang lumayan karena padatnya
pengunjung, sehingga merasa adanya ‘berkah’ dari perayaan ini. Apalagi ritual
terakhir Hoyak Tabuik yang sisa-sisanya menjadi obyek rebutan massa karena
dianggap dapat mendatangkan berkah dan bisa dijadikan ‘penglaris’. Dari sisi
lain, salah-seorang tokoh masyarakat kota Pariaman—H. Bagindo Fahmi, menyatakan
bahwa perayaan Tabuik merupakan salah-satu tradisi kebanggaan untuk
masyarakatnya, bahkan dikatakannya pula bahwa tradisi tersebut telah menjadi
alat pemersatu bagi masyarakat daerah tersebut sehingga dibuat komitmen agar
tradisi perayaan Tabuik sejatinya akan terus langgeng.
Pesta
Asyura
Hari Asyura’ merupakan hari
dimana dahulunya Allah Ta’ala telah menyelamatkan nabi Musa as dari kejaran
Fir’aun la’natullah beserta bala-tentaranya. Sebagai rasa syukurnya, nabi Musa
as melakukan shaum pada tanggal tersebut, yaitu 10 Muharram. Mengenai perihal
ini, terdapat satu hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas ra,
Artinya, “Sewaktu Rasululloh saw tiba di Madinah,
beliau melihat orang-orang Yahudi shaum pada hari Asyura’. Lalu beliau
bertanya, “Apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang baik, hari
yang Allah telah selamatkan bani Israil dari musuh mereka. Kemudian, nabi Musa
shaum. Lalu Rasululloh saw bersabda, “Aku lebih berhak terhadap nabi Musa dari
kalian (orang Yahudi)”. Kemudian, beliau shaum dan memerintahkan (para sahabat)
supaya berpuasa pada hari tersebut.” (HR. Bukhari-Muslim)
busana muslim
Abu Qatadah menyebutkan bahwa
Rasulullah saw juga bersabda,
وَصِيَامُ
يَوْمِ عَاشُرَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ
يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Artinya, “Dan ( dalam) shiyam
hari Asyura’, aku berharap kepada Allah agar hal itu dapat menebus dosa dari
tahun yang sebelumnya.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Dari keterangan tersebut, maka
jelaslah apa-apa yang seharusnya dikerjakan umat muslim dalam upayanya
mencontoh kehidupan Rasulullah berkenaan dengan tanggal 10 Muharram. Tidak ada
satupun perayaan khusus atau peribadahan ritual yang disandarkan kepada adat
dan kebiasaan yang ada di daerah mereka seperti yang biasa dirutinkan. Semuanya
harus kembali kepada pakem apakah Rasulullah mencontohkannya atau tidak. Bila
ternyata tidak, umat harusnya berhati-hati karena hal itu merupakan perangkap
setan yang bisa mengundang laknat Allah azza wa jalla. Naudzubillahi min dzaalika.
Bentuk kebid’ahan yang paling
pamor di bulan Muharram ini, yang menyesatkan dan sudah berlangsung lama
diantaranya adalah perayaan hari Asyura’
yang diadakan oleh pemeluk agama Syi’ah (dimana mereka selalu menisbatkan-diri
termasuk ke dalam golongan muslim). Mereka menganggap bahwa hari Asyura’ adalah
hari berkabung atas kematian Husain ra. Di saat itu mereka akan mengungkapkan
kesedihannya dengan menangis seraya menampar-nampar wajah mereka sendiri,
merobek-robek pakaiannya, hingga mereka tak segan-segan melukai diri mereka
sendiri dengan berbagai alat yang bisa melukai, seperti cambuk, rantai besi,
pedang, dan sebagainya. Mereka menganggap dengan berprilaku begitu akan bisa
turut merasakan penderitaan dan kesakitan yang dialami cucu Rasulullah tersebut.
Bagi pemeluk agama Syi’ah,
peristiwa terbunuhnya Husein ra merupakan peristiwa besar yang sangat
digung-agungkan. Begitupun dengan Padang Karbala yang telah dijadikan tempat
sakral mereka dalam melakukan peribadahan melebihi kota Mekkah dan Masjidil
Haram. Mereka justru lebih memuliakan tempat itu ketimbang dua tempat yang
telah dimuliakan Allah Ta’ala tersebut. Belajar
seo
Ritual yang dilaksanakan di hari
Asyura’ yang mereka yakini diantaranya dengan mengenakan busana berwarna hitam
dengan saling mengucapkan kalimat bela-sungkawa yang ditujukan kepada Husain
ra. Mereka mengadakan Manakib Husainiyah atau aksi arak-arakan kubah Husain
yang terbuat dari kayu ke jalan-jalan sambil melakukan niyahah. Sesekali
terdengar teriakan keras mereka memekikkan nama Husain ra. Sementara itu bagi
mereka yang kebetulan membawa-serta anak-anaknya, tampak mengajarkan ritual itu
agar anak-anak tersebut dapat turut menangis saat mengikuti jalannya prosesi.
Seorang ulama’ Syi’ah dalam Man Qatalal Husain menyatakan bahwa meratapi kematian
Husein ra dengan berteriak-teriak, hukumnya wajib ‘ain.
Para penganut Syi’ah dewasa yang
ekstrimis biasanya unjuk ‘keberanian’ dengan melukai anggota tubuh mereka
sendiri hingga mengalirnya darah. Aksi ekstrim yang biasanya dilakukan di
daerah Karbala ini, mereka tunaikan sebagai bentuk ikut merasakan penderitaan
Husain yang terluka kala itu. Ayatullah al-‘Uzhma Syaikh Muhammad Husain
an-Nati dalam Man Qatalal Husain hal. 65 mengatakan, “Tidak ada masalah tentang
hukumnya menampar pipi dan dada dengan tangan sampai memerah dan menghitam. Dan
lebih ditekankan lagi memukul pundak dan punggung dengan rantai hingga kulit
menjadi kemerahan dan gosong. Bahkan lebih ditekankan lagi jika hal itu sampai
mengeluarkan darah dari kening dan puncak kepala dengan menggunakan pedang.”
Ritual penyiksaan ini biasanya
terlaksana di negara-negara yang penganut Syi’ahnya mencapai jumlah mayoritas,
seperti Iran, Irak, dan India. (Tidak tertutup kemungkinan kelompok Syi’ah di
Indonesia akan menunaikan bentuk penyiksaan diri seperti demikian, apalagi isyu
berkembangnya aliran sesat ini kian santer di negara yang mayoritas berpenduduk
muslim ini).
Di tengah-tengah perayaan Asyura’
itu, mirisnya mereka juga tak ketinggalan memaki-maki para khulafaur rasyidin
yang amat dicintai Rasulullah saw. Wal ‘iyadzubillahi.
Dalam menyambut hari Asyura’ juga
beredar hadits-hadits maudhu’, diantaranya yang berbunyi, “Barangsiapa yang
memakai celak di hari Asyuro’, maka ia tidak akan mengalami sakit mata pada
tahun itu.” Atau hadits lain berbunyi, “Barangsiapa yang melebihkan nafkah bagi
keluarganya di hari Asyura’, maka Allah akan melapangkan rezekinya selama
setahun itu.”
Penganut Syi’ah juga menganggap
hari Asyura’ sebagai hari penuh kesialan. Oleh karena anggapan itu, maka mereka
banyak menunda berbagai aktivitasnya, seperti menunda pernikahan, tidak
melakukan safar, tidak berpakaian bagus, dan sebagainya.
Riwayat
shohih tentang peristiwa Karbala
Riwayat yang paling shohih
berikut ini dibawakan oleh Imam al-Bukhari, no.3748:
Dia mengatakan, “Kepala Husein ra
dibawa dan didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Kepala itu ditaruh di
bejana, lalu Ubaidullah bin Ziyad menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya
berkomentar sedikit tentang ketampanan Husein. Anas ra mengatakan, “Diantara
ahlul bait, Husein adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Saat itu
Husein disemir rambutnya dengan wasmah ( tumbuhan sejenis pacar yang warnanya
condong ke warna hitam ).”
Kisahnya, Husein bin Ali bin Abi
Thalib tinggal di Mekah bersama beberapa para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas dan
Ibnu Zubair. Ketika Muawwiyah meninggal dunia pada tahun 60 Hijriyah, anak
beliau Yazid bin Muawwiyah menggantikannya sebagai khalifah. Saat itu penduduk
Iraq yang didominasi oleh pengikut Ali ra menulis surat kepada Husein untuk
meminta beliau berpindah ke Iraq. Mereka berjanji akan membai’at Husein sebagai
khalifah karena mereka tidak menginginkan Yazid bin Muawwiyah menjadi khalifah.
Ternyata tidak hanya melalui surat, mereka pun terkadang mendatangi Husein di
Mekah dan mengajak beliau untuk berangkat ke Kuffah dan berjanji akan
menyediakan pasukan.
Para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas
kerap kali menasehati Husein agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah
Husein, Ali bin Abi Thalib juga dibunuh di Kuffah sehingga Ibnu ‘Abbas
mengkhawatirkan keselamatan Husein pula. Namun Husein mengatakan bahwa ia telah
melaksanakan sholat istikharoh dan telah memutuskan akan berangkat ke Kuffah.
Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau mengambil keputusan itu karena belum
mendengar bahwa sepupunya yaitu Muslim bin ‘Aqil telah dibunuh di tempat itu
juga. Akhirnya berangkatlah Husein dan keluarganya menuju ke Kuffah.
Sementara di pihak lain,
Ubaidullah bin Ziyad diutus oleh Yazid bin Muawwiyah untuk mengatasi pergolakan
di Iraq. Akhirnya Ubaidullah dan pasukannya berhadapan dengan Husein yang
sedang berada dalam perjalanan bersama keluarganya menuju Iraq. Pergolakan itu
sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husein. Dua pasukan
yang tidak imbang ini bertemu di Karbala, sementara orang-orang Irak yang
membujuk Husein untuk membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri
meninggalkan Husein dan keluarganya untuk berhadapan dengan pasukan Ubaidullah.
Hingga akhirnya terbunuhlah Husein sebagai orang yang terzhalimi dan dalam
keadaan syahid. Kepalanya lalu dipenggal dan dibawa ke hadapan Ubaidullah bin
Ziyad kemudian diletakkan di dalam bejana. Ubaidullah yang tidak pernah
diperintahkan untuk membunuh Husein ini pun lalu menusuk-nusukkan pedangnya ke
hidung, mulut, dan gigi Husein, padahal disana ada Anas bin Malik, Zaid bin
Arqam dan Abu Barzah al-Aslami. Melihat perbuatan yang sangat tak manusiawi
itu, Anas ra lantas mengatakan,
Baca juga Padang Karbala
“Singkirkan pedangmu dari mulut
itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah mencium mulut itu!” Mendengar
kata-kata Anas ra, Ubaidullah pun marah lalu mengatakan, “Seandainya aku tidak
melihatmu sebagai seorang-tua yang telah renta dan yang akalnya sudah rusak,
maka pasti kepalamu akan kupenggal!” Dalam riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban
dari Hafshah binti Sirrin dari Anas ra dinyatakan, “Lalu Ubaidullah mulai
menusuk-nusukkan pedangnya ke hidung Husein ra.”
Adapun riwayat palsu yang beredar
tentang peristiwa ini menyatakan bahwa kepala Husein diarak dan diletakkan di
depan Yazid bin Muawwiyah. Ini sesuatu yang mustahil, sebab saat itu Yazid bin
Muawwiyah berada di negeri Syams, sedangkan peristiwa yang menimpa Husein
terjadi di Karbala, Irak. Sementara itu
dikatakan pula bahwa kaum perempuan dari keluarga Husein disebutkan diarak
dengan kendaraan tanpa pelana dan ditawan. Ini hanyalah kisah dusta yang
ditambah-tambah penganut Syi’ah semata. Tak cukup hanya merubah dan menambah
sehingga bercampur dengan cerita fiktif tentang peristiwa Karbala, mereka pun
nekat menyusun hadits-hadits maudhu’ untuk mendukung sikap ghuluw mereka
terhadap Husein ra.
Syaikhul Islam rahimahullah telah
membagi tiga kelompok manusia dalam kaitannya menyikapi tragedi Karbala, yaitu:
1. Kelompok yang menyatakan
secara terang-terangan bahwa tragedi pembunuhan itu layak diterima Husein ra
karena adanya anggapan bahwa Husein ra telah memberontak kepada Yazid bin
Muawwiyah yang tengah berkuasa saat itu. Begitu juga dengan tuduhan kelompok
ini bahwa Husein ra berniat memecah-belah umat. Oleh sebab itu kelompok ini
selalu membawa hujjah sebuah hadits dari Rasulullah yang berbunyi:
مَنْ
جَاءَكُمْ وَ أَمْرُكُمْ عَلَى
رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ
يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ.
Artinya, “Jika ada orang yang
mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu kepemimpinan,
lalu datanglah seseorang yang akan memecah-belah jama’ah kalian, maka bunuhlah
ia.” (HR. Muslim)
2. Kelompok yang sangat taklid
kepada Husein ra sehingga mengatakan bahwa keta’atan adalah dibawah perintah
Husein ra. Kelompok yang sangat mendewakan Husein ra ini dipimpin oleh Muchtar
bin Abi ‘Ubaid yang kemudian menugaskan pasukannya untuk membunuh dan memenggal
kepala Ubaidullah bin Ziyad.
3. Kelompok yang menghormati
Husein ra sebagai seorang ahli bait yang sholih dan menepis tudingan kelompok
pertama yang menghujat Husein ra sebagai pemberontak. Kelompok ini berkeyakinan
bahwa Husein ra tewas dalam keadaan dizhalimi dan mendapat kesyahidan. Syaikhul
Islam rahimahullah dalam Minhajus Sunnah
(IV/550) mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa Husein ra terbunuh dalam
keadaan terzhalimi dan syahid. Pembunuhan terhadapnya merupakan bentuk
kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya dari para pelaku pembunuhan dan
orang-orang yang membantunya. Selain itu, ini merupakan musibah yang menimpa
kaum muslimin, keluarga Rasulullah, dan yang lainnya. Husein ra berhak
mendapatkan gelar asy-syahid, kedudukan, serta derajat yang tinggi. Kelompok
ketiga inilah yang merupakan golongan ahlussunnah wal jama’ah.
Petunjuk Allah Ta’ala ketika musibah menimpa
seorang muslim
Dalam tuntunan Allah Ta’ala yang
telah disampaikan melalui Rasulullah saw, ada beberapa yang seharusnya
dijadikan rujukan bagi setiap muslim dalam menghadapi sebuah musibah, misalnya
kematian keluarga atau kerabat. Diantaranya adalah firman-Nya,
Artinya, “Dan sungguh akan Kami
berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,
‘Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun’. Mereka itulah yang mendapatkan
keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Baqarah, 2:155-157)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir jelas
dijabarkan bahwa Allah Ta’ala telah memastikan bahwa setiap hamba akan menerima
ujiannya masing-masing. Ujian tersebut kadang berupa kebaikan dan kadang berupa
keburukan yang sangat tidak disukai oleh seorang hamba. Namun Allah Ta’ala juga
memberikan petunjuk bahwa hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan beroleh
kegembiraan, yaitu berupa pahala keberkahan yang sempurna dan rahmat-Nya.
Sebaliknya, bila ujian itu membuat hamba tersebut selalu berkeluh-kesah,
menyesalinya, bahkan bersuudzhon kepada Allah Ta’ala, maka kemurkaan dan
kerugianlah yang diperolehnya.
Baca juga Hari Karbala
Dalam ayat tersebut juga
diperintahkan apabila seorang hamba tertimpa musibah, maka disunnahkan membaca
kalimat istirja’ yaitu ucapan “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.
Perbuatan ini memiliki nilai pahala di sisi Allah azza wa jalla, yaitu seperti
hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah ra yang mendengar Rasulullah
bersabda,
مَا
مِنْ عَبْدٍ يُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ
فَيَقُوْلُ: إِنَّا لِلَّهِ وَ
إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ, اَللَّهُمَّ أَجِرْنِيْ فِي مُصِيْبَتِيْ وَ
أَخْلُفْلِيْ خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ
ىاَجَرَهُ اللهُ فِيْ مُصِيْبَةِ
وَ أَخْلَفَ لَهُ خَيْرَا مِنْهَا.
Artinya, “Tiada seorang hamba
yang mendapat musibah, lalu dia mengucapkan “Innaa lillahi wa innaa ilaihi
raaji’uun, Ya Allah, berilah aku pahala disebabkan musibah ini dan gantilah ia
dengan yang lebih baik daripadanya.” melainkan Allah memberinya pahala atas
musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik daripadanya.” (HR. Muslim)
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan
dalam sanadnya dari Husein bin Ali dari Rasulullah saw, bahwa beliau pernah
bersabda,
Artinya, “Tiada seorang
muslimpun, baik laki-laki maupun perempuan yang mendapat musibah, lalu dia
mengingatnya sesudah lama berlalu, kemudian membaca kalimat istirja’ meskipun
sudah berlalu lama, melainkan Allah akan memeberinya kembali pahala bacaan yang
sama dengan pahala bacaan ketika musibah itu pertama-kali terjadi.” (HR. Imam
Ahmad)
Rasulullah pun sudah tegas dalam
sabda lainnya yang melarang perbuatan yang bukan mencerminkan sikap sebagai
seorang muslim, yaitu
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْحُدُوْدَ
وَ شَقَّ الْجُيُوْبَ وَ
دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.
Artinya, “Tidak termasuk golongan
kami—orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju, dan berteriak-teriak
seperti orang-orang jahiliyah.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Merujuk kepada ayat dan
hadits-hadits Rasulullah diatas, jelas perbuatan penganut Syi’ah yang selalu
menisbatkan-diri kepada Islam itu tidak sejalan dengan petunjuk dien Islam.
Ritual yang mereka jalankan berupa menangis histeris, memukul-mukul wajah,
merobek-robek baju, penyiksaan diri dengan melukai anggota tubuh, mengucapkan
kalimat-kalimat penuh kemarahan, dan sebagainya yang terlarang merupakan
cerminan sikap mereka yang berkiblat kepada adab-adab jahiliyah. Selayaknya
seorang muslim sudah sangat bisa memahami keyakinan mereka yang sesat sebab
perihal ini sudah sangat nyata dan gamblang Allah Ta’ala sampaikan, baik
melalui firman-Nya maupun hadits rasul-Nya. Bukan malah ikut-ikutan apalagi
memfasilitasi ritual sesat tersebut. Kenyataan ini memang memprihatinkan,
dimana kesesatan dianggap tradisi, lalu tradisi lebih mendapat pengayoman
sehingga dirasa patut untuk dijaga kelestariannya.
Dalam menyambut hari Asyura’,
Rasulullah mencukupkan diri dengan melaksanakan shaum sunnah. Tidak ada
perintah lain dan tambahan-tambahan perayaan didalamnya sehingga tidaklah layak
kita membuat-buat dalil yang justru menyelisihinya, karena sebaik-baik pedoman
bagi umat Islam adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
rasul-Nya, yang tidak ada petunjuk selainnya kecuali hanya dengan
berpegang-teguh kepada kedua hal tersebut. Selayaknya umat Islam hidup dengan
mengikuti pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Berhati-hatilah
terhadap bid’ah karena tak ada balasannya melainkan an-Naar. Naudzubillahi min
dzaalika.
Demikian, semoga memberi manfaat.
Walhamdulillahi Robbil ‘alamiin…
Oleh : Ustadz Abu Jibriel Abdul
Rahman
Source: abujibriel.com
Peristiwa
Karbala Dalam Pandangan Ahlussunnah Wal Jama’ah
Rabu, 23 Desember 2009 15:50:57
WIB
Kategori : Al-Masaa'il
PERISTIWA KARBALA DALAM PANDANGAN
AHLUSSUNNAH WAL-JAMA'AH
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir
Abdat
URGENSI SANAD
Syaikhul Islam rahimahullah
mengatakan dalam kitab Aqidah al-Wasithiyyah : "Ahlussunnah menahan lidah
dari permasalahan atau pertikaian yang terjadi diantara para Sahabat
Radhiyallahu 'anhum. Dan mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya riwayat-riwayat
yang dibawakan dan sampai kepada kita tentang keburukan-keburukan para Sahabat
Radhiyallahu 'anhum (pertikaian atau peperangan) ada yang dusta dan ada juga
yang ditambah, dikurangi dan dirubah dari aslinya (serta ada pula yang
shahih-pen). Riwayat yang shahih. menyatakan, bahwa para Sahabat Radhiyallahu
'anhum ini ma'dzûrûn (orang-orang yang diberi udzur). Baik dikatakan karena
mereka itu para mujtahid yang melakukan ijtihad dengan benar ataupun juga para
mujtahid yang ijtihadnya keliru.”[1]
Baca juga Kisah Karbala
Ahlussunah wal Jama'ah
memposisikan riwayat-riwayat ini. Ketiga riwayat ini bertebaran dalam kitab-kitab
tarikh (sejarah). Dan ini mencakup semua kejadian dalam sejarah Islam, termasuk
kisah pembunuhan Husain bin Ali Radhiyallahu 'anhuma di Karbala. Sebagian besar
riwayat tentang peristiwa menyedihkan ini adalah kebohongan belaka. Sebagian
lagi dhaif dan ada juga yang shahih. Riwayat yang dinyatakan shahih oleh para
ulama ahli hadits yang bersesuaian dengan kaidah ilmiah dalam ilmu hadits,
inilah yang wajib dijadikan pedoman dalam mengetahui apa yang terjadi
sebenarnya. Dari sini, kita dapat memahami betapa sanad itu sangat penting
untuk membungkam para pendusta dan membongkar niat busuk mereka.
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah
mengatakan, "Sanad itu senjata kaum muslimin, jika dia tidak memiliki
senjata lalu apa yang dia pergunakan dalam berperang" Perkataan ini
diriwayatkan oleh al-Hâkim dalam kitab al-Madkhal.
'Abdullah bin Mubârak
rahimahullah mengatakan, "Sanad ini termasuk bagian dari agama. kalau
tidak ada isnad, maka siapapun bisa berbicara semaunya." Perkataan ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahih beliau
rahimahullah.
Di tempat yang sama, Imam Muslim
raimahullah juga membawakan perkataan Ibnu Sîrin, "Dahulu, mereka tidak
pernah bertanya tentang sanad. Ketika fitnah mulai banyak, mereka mengatakan,
"Sebutkanlah nama orang-orangmu yang meriwayatkannya" !
KRONOLOGI
TERBUNUHNYA HUSAIN RADHIYALLAHU 'ANHUMA
Berkait dengan peristiwa Karbala,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Orang-orang yang
meriwayatkan pertikaian Husain Radhiyallahu 'anhu telah memberikan tambahan
dusta yang sangat banyak, sebagaimana juga mereka telah membubuhkan dusta pada
peristiwa pembunuhan terhadap 'Utsman Radhiyallahu 'anhu, sebagaimana mereka
juga memberikan tambahan cerita (dusta) pada peristiwa-peristiwa yang ingin
mereka besar-besarkan, seperti dalam riwayat mengenai peperangan, kemenangan
dan lain sebagainya. Para penulis tentang berita pembunuhan Husain Radhiyallahu
'anhu, ada diantara mereka yang merupakan ahli ilmu (ulama) seperti al-Baghawi
rahimahullah dan Ibnu Abi Dun-ya dan lain sebagainya. Namun demikian, diantara
riwayat yang mereka bawakan ada yang terputus sanadnya. Sedangkan yang
membawakan cerita tentang peristiwa ini dengan tanpa sanad, kedustaannya sangat
banyak"[2]
Baca juga Perang Karbala
Oleh karenanya, dalam pembahasan
tentang peristiwa ini perlu diperhatikan sanadnya.
RIWAYAT
SHAHIH TENTANG PERISTIWA KARBALA
Riwayat yang paling shahih ini
dibawakan oleh Imam al-Bukhâri, no, 3748 :
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ
إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ
بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُحَمَّدٍ
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ
بِرَأْسِ الْحُسَيْنِ فَجُعِلَ فِي طَسْتٍ فَجَعَلَ
يَنْكُتُ وَقَالَ فِي حُسْنِهِ
شَيْئًا فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ
أَشْبَهَهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَخْضُوبًا بِالْوَسْمَةِ
"Aku diberitahu oleh
Muhammad bin Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan : aku diberitahu oleh Husain
bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammad dari Anas bin Mâlik
Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan : Kepala Husain dibawa dan didatangkan
kepada 'Ubaidullah bin Ziyâd[3]. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu 'Ubaidullah
bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang
ketampanan Husain. Anas Radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Diantara Ahlul
bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam." Saat itu, Husain Radhiyallahu 'anhu disemir rambutnya
dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam)"
Kisahnya, Husain bin Ali
Radhiyallahu 'anhuma tinggal di Mekah bersama beberapa Shahabat, seperti Ibnu
'Abbâs dan Ibnu Zubair Radhiyallahu 'anhuma. Ketika Muawiyah Radhiyallahu 'anhu
meninggal dunia pada tahun 60 H, anak beliau Yazîd bin Muâwiyah menggantikannya
sebagai imam kaum muslimin atau khalifah. Saat itu, penduduk Irak yang
didominasi oleh pengikut 'Ali Radhiyallahu 'anhu menulis surat kepada Husain
Radhiyallahu 'anhuma meminta beliau Radhiyallahu 'anhuma pindah ke Irak. Mereka
berjanji akan membai'at Husain Radhiyallahu 'anhuma sebagai khalifah karena
mereka tidak menginginkan Yazîd bin Muâwiyah menduduki jabatan Khalifah. Tidak
cukup dengan surat, mereka terkadang mendatangi Husain Radhiyallahu 'anhuma di
Mekah mengajak beliau Radhiyallahu 'anhu berangkat ke Kufah dan berjanji akan
menyediakan pasukan. Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhuma kerap
kali menasehati Husain Radhiyallahu 'anhuma agar tidak memenuhi keinginan
mereka, karena ayah Husain Radhiyallahu 'anhuma, Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu 'anhu, dibunuh di Kufah dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu khawatir
mereka membunuh Husain juga disana. Husain Radhiyallahu 'anhuma mengatakan,
"Saya sudah melakukan istikharah dan akan berangkat kesana".
.
Baca Juga… Peristiwa Karbala
Sebagian riwayat menyatakan bahwa
beliau Radhiyallahu 'anhuma mengambil keputusan ini karena belum mendengar
kabar tentang sepupunya Muslim bin 'Aqil yang telah dibunuh di sana.
Akhirnya, berangkatlah Husain
Radhiyallahu 'anhuma bersama keluarga menuju Kufah.
Sementara di pihak yang lain,
'Ubaidullah bi n Ziyâd diutus oleh Yazid bin Muawiyah untuk mengatasi
pergolakan di Irak. Akhirnya, 'Ubaidullah dengan pasukannya berhadapan dengan
Husain Radhiyallahu 'anhuma bersama keluarganya yang sedang dalam perjalanan
menuju Irak. Pergolakan ini sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin
memanfaatkan Husain Radhiyallahu 'anhuma. Dua pasukan yang sangat tidak imbang
ini bertemu, sementara orang-orang Irak yang membujuk Husain Radhiyallahu
'anhuma, dan berjanji akan membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan
diri meninggalkan Husain c dan keluarganya berhadapan dengan pasukan
Ubaidullah. Sampai akhirnya, terbunuhlah Husain Radhiyallahu 'anhuma sebagai
orang yang terzhalimi dan sebagai syahid. Kepalanya dipenggal lalu dibawa
kehadapan 'Ubaidullah bin Ziyâd dan kepala itu diletakkan di bejana.
Lalu 'Ubaidullah yang durhaka[4]
ini kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain, padahal di situ ada
Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami Radhiyallahu 'anhum.
Anas Radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena
aku pernah melihat mulut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium mulut
itu!" Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan, "Seandainya saya
tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah sudah rusak, maka pasti
kepalamu saya penggal."
Dalam riwayat at- Tirmidzi dan
Ibnu Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anas Radhiyallahu 'anhu dinyatakan :
فَجَعَلَ
يَقُوْلُ بِقَضِيْبٍ لَهُ فِي أَنْفِهِ
"Lalu 'Ubaidullah mulai
menusukkan pedangnya ke hidung Husain Radhiyallahu 'anhu".
Dalam riwayat ath-Thabrâni
rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqam Radhiyallahu 'anhu :
فَجَعَلَ
قَضِيْبًا فِي يَدِهِ فِي
عَيْنِهِ وَأَنْفِهِ فَقُلْتُ ارْفَعْ قَضِيْبَكَ فَقَدْ
رَأَيْتُ فَمَّ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي مَوْضِعِهِ
"Lalu dia mulai menusukkan
pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husain Radhiyallahu 'anhu. Aku
(Zaid bin Arqam) mengatakan, "Angkat pedangmu, sungguh aku pernah melihat
mulut Rasulullah (mencium) tempat itu".
Demkian juga riwayat yang
disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu :
فَقُلْتُ
لَهُ إِنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه
وسلم يَلْثِمُ حَيْثُ تَضَعُ قَضِيْبَكَ
, قَالَ : " فَانْقَبَضَ
Aku (Anas bin Malik) mengatakan
kepadanya, "Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam mencium tempat dimana engkau menaruh pedangmu itu." Lalu Ubaidullah
mengangkat pedangnya.
Baca juga… Tragedi Karbala
Demikianlah kejadiannya, setelah
Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh, kepala beliau Radhiyallahu 'anha
dipenggal dan ditaruh di bejana. Dan mata, hidung dan gigi beliau Radhiyallahu
'anhu ditusuk-tusuk dengan pedang. Para Sahabat Radhiyallahu anhum yang
menyaksikan hal ini meminta kepada 'Ubaidullah orang durhaka ini, agar
menyingkirkan pedang itu, karena mulut Rasulullah pernah menempel tempat itu.
Alangkah tinggi rasa hormat mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan alangkah sedih hati mereka menyaksikan cucu Rasulullah Shallallahu
'aiahi wa sallam, orang kesayangan beliau n dihinakan di depan mata mereka.
Dari sini, kita mengetahui betapa
banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini yang menyatakan bahwa kepala Husain
Radhiyallahu 'anhuma diarak sampai diletakkan di depan Yazid rahimahullah. Para
wanita dari keluarga Husain Radhiyallahu 'anhuma dikelilingkan ke seluruh negeri
dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan dan dirampas. Semua ini merupakan
kepalsuan yang dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid t saat itu sedang berada
di Syam, sementara kejadian memilukan ini berlangsung di Irak.
Syaikhul Islam Taimiyyah
rahimahullah mengatakan, "Dalam riwayat dengan sanad yang majhul
dinyatakan bahwa peristiwa penusukan ini terjadi di hadapan Yazid, kepala
Husain Radhiyallahu 'anhuma dibawa kehadapannya dan dialah yang
menusuk-nusuknya gigi Husain Radhiyallahu 'anhuma. Disamping dalam cerita
(dusta) ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa cerita ini bohong, maka
(untuk diketahui juga-red) para Sahabat yang menyaksikan peristiwa penusukan
ini tidak berada di Syam, akan tetapi di negeri Irak. Justru sebaliknya,
riwayat yang dibawakan oleh beberapa orang menyebutkan bahwa Yazid tidak
memerintahkan 'Ubaidullah untuk membunuh Husain."[5]
Yazid rahimahullah sangat
menyesalkan terjadinya peristiwa menyedihkan itu. Karena Mu'awiyah berpesan
agar berbuat baik kepada kerabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maka, saat mendengar kabar bahwa Husain dibunuh, mereka sekeluarga menangis dan
melaknat 'Ubaidullah. Hanya saja dia tidak menghukum dan mengqisas 'Ubaidullah,
sebagai wujud pembelaan terhadap Husain secara tegas.[6]
Jadi memang benar, Husain
Radhiyallahu 'anhuma dibunuh dan kepalanya dipotong, tapi cerita tentang
kepalanya diarak, wanita-wanita dinaikkan kendaraan tanpa pelana dan dirampas,
semuanya dhaif (lemah). Alangkah banyak riwayat dhaif serta dusta seputar
kejadian menyedihkan ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah di atas.
Baca juga… Misi medis suriah
Kemudian juga, kisah pertumpahan
darah yang terjadi di Karbala ditulis dan diberi tambahan-tambahan dusta.
Tambahan-tambahan dusta ini bertujuan untuk menimbulkan dan memunculkan fitnah
perpecahan di tengah kaum muslimin. Sebagian dari kisah-kisah dusta itu bisa
kita dapatkan dalam kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam
Minhâjus Sunnah IV/517 dan 554, 556 :
- Ketika Hari pembunuhan terhadap
Husain, langit menurunkan hujan darah lalu menempel di pakaian dan tidak pernah
hilang dan langit nampak berwarna merah yang tidak pernah terlihat sebelum itu.
- Tidak diangkat sebuah batu
melainkan di bawahnya terdapat darah penyembelihan Husain Radhiyallahu 'anhuma.
- Kemudian mereka juga
menisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebuah perkataan
yang berbunyi :
هَؤُلَاءِ
وَدِيْعَتِيْ عِنْدَكُمْ
Mereka ini adalah titipanku pada
kalian, kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat :
"Katakanlah:"Aku tidak
meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam
kekeluargaan" [asy Syûrâ/42:23]
Riwayat ini dibantah oleh para
ulama diantaranya Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan mengatakan, "Apa
masuk di akal, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menitipkan kepada
makhluk padahal Allah Azza wa Jalla tempat penitip yang terbaik. Sedangkan ayat
di atas yang mereka anggap diturunkan Allah Azza wa Jalla berkenaan dengan
peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu 'anhuma, maka ini juga merupakan satu
bentuk kebohongan. Karena ayat ini terdapat dalam surat as-Syûrâ dan surat ini
Makkiyah. Allah Azza wa Jalla menurunkan surat ini sebelum Ali Radhiyallahu
'anhu dan Fathimah Radhiyallahu anha menikah.
HUSAIN
RADHIYALLAHU 'ANHUMA TERBUNUH SEBAGAI ORANG YANG TERZHALIMI DAN MATI SYAHID
Ini merupakan keyakinan
Ahlussunnah. Pendapat ini berada diantara dua pendapat yang saling berlawanan.
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, "Tidak disangsikan lagi bahwa
Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan syahid.
Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma merupakan tindakan maksiat
kepada Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dari
para pelaku pembunuhan dan orang-orang yang membantu pembunuhan ini. Di sisi
lain, merupakan musibah yang menimpa kaum muslimin, keluarga Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang lainnya. Husain Radhiyallahu 'anhuma
berhak mendapatkan gelar syahid, kedudukan dan derajat ditinggikan".[7]
Baca Juga… setan betina Emilia renita az
Kemudian, di halaman yang sama,
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain
Radhiyallahu 'anhuma tidak lebih besar daripada pembunuhan terhadap para rasul.
Allah Azza wa Jalla telah memberitahukan bahwa bani Israil telah membunuh para
nabi tanpa alasan yang benar. Pembunuhan terhadap para nabi itu lebih besar
dosanya dan merupakan musibah yang lebih dahsyat. Begitu pula pembunuhan
terhadap 'Ali Radhiyallahu 'anhu (bapak Husain Radhiyallahu 'anhuma) lebih
besar dosa dan musibahnya, termasuk pembunuhan terhadap 'Utsman juga
Radhiyallahu 'anhu.
Ini merupakan bantahan telak bagi
kaum Syi'ah yang meratapi kematian Husain Radhiyallahu 'anhuma, namun, tidak
meratapi kematian para nabi . Padahal pembunuhan yang dilakukan oleh bani
Israil terhadap para nabi tanpa alasan yang benar lebih besar dosa dan
musibahnya. Ini juga menunjukkan bahwa mereka bersikap ghuluw (melampau batas)
kepada Husain Radhiyallahu 'anhu.
Sikap ghuluw ini mendorong mereka
membuat berbagai hadits palsu. Misalnya, riwayat yang menerangkan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan, pembunuh Husain
Radhiyallahu 'anhu akan berada di tabut (peti yang terbuat dari api), dia
mendapatkan siksa setengah siksa penghuni neraka, kedua tangan dan kakinya
diikat dengan rantai dari api neraka, ditelungkupkan sampai masuk ke dasar
neraka dan dalam keadaan berbau busuk, penduduk neraka berlindung dari bau
busuk yang keluar dari orang tersebut dan dia kekal di dalamnya.
Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah
rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan mengatakan, "Hadits ini
termasuk di antara riwayat yang berasal dari para pendusta".
MENYIKAPI
PERISTIWA KARBALA
Menyikapi peristiwa wafatnya
Husain Radhiyallahu 'anhuma, umat manusia terbagi menjadi tiga golongan.
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, "Dalam menyikapi peristiwa
pembunuhan Husain Radhiyallahu 'anhuma, manusia terbagi menjadi tiga : dua
golongan yang ekstrim dan satu berada di tengah-tengah.
Golongan Pertama : Mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain
Radhiyallahu 'anhuma itu merupakan tindakan benar. Karena Husain Radhiyallahu
'anhuma ingin memecah belah kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda :
مَنْ
جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ
يُرِيْدُ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ
فَاقْتُلُوْهُ
"Jika ada orang yang
mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu pemimpin lalu
pendatang hendak memecah belah jama'ah kalian, maka bunuhlah dia" [8]
Kelompok pertama ini mengatakan
bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma datang saat urusan kaum muslimin berada di
bawah satu pemimpin (yaitu Yazid bin Muawiyah) dan Husain Radhiyallahu 'anhuma
hendak memecah belah umat.
Baca juga…. Wanita Syi’ah
Sebagian lagi mengatakan bahwa
Husain Radhiyallahu 'anhuma merupakan orang pertama yang memberontak kepada
penguasa.. Kelompok ini melampaui batas, sampai berani menghinakan Husain
Radhiyallahu 'anhuma. Inilah kelompok 'Ubaidullah bin Ziyâd, Hajjâj bin Yusûf
dan lain-lain. Sedangkan Yazid bin Muâwiyah rahimahullah tidak seperti itu.
Meskipun tidak menghukum 'Ubaidullah, namun ia tidak menghendaki pembunuhan
ini.
Golongan Kedua : Mereka
mengatakan Husain Radhiyallahu 'anhu adalah imam yang wajib ditaati; tidak
boleh menjalankan suatu perintah kecuali dengan perintahnya; tidak boleh
melakukan shalat jama'ah kecuali di belakangnya atau orang yang ditunjuknya,
baik shalat lima waktu ataupun shalat Jum'at dan tidak boleh berjihad melawan
musuh kecuali dengan idzinnya dan lain sebagainya. [9]
Kelompok pertama dan kedua ini
berkumpul di Irak. Hajjâj bin Yûsuf adalah pemimpin golongan pertama. Ia sangat
benci kepada Husain Radhiyallahu 'anhuma dan merupakan sosok yang zhalim.
Sementara kelompok kedua dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi 'Ubaid yang mengaku mendapat
wahyu dan sangat fanatik dengan Husain Radhiyallahu 'anuhma. Orang inilah yang
memerintahkan pasukannya agar menyerang dan membunuh 'Ubaidullah bin Ziyad dan
memenggal kepalanya.
Golongan Ketiga : Yaitu
Ahlussunnah wal Jama'ah yang tidak sejalan dengan pendapat golongan pertama,
juga tidak dengan pendapat golongan kedua. Mereka mengatakan bahwa Husain
Radhiyallahu 'anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Inilah
keyakinan Ahlussunnah wal Jama'ah, yang selalu berada di tengah antara dua
kelompok.
Ahlussunnah mengatakan Husain
Radhiyallahu 'anhuma bukanlah pemberontak. Sebab, kedatangannya ke Irak bukan
untuk memberontak. Seandainya mau memberontak, beliau Radhiyallahu 'anhuma bisa
mengerahkan penduduk Mekah dan sekitarnya yang sangat menghormati dan
menghargai beliau Radhiyallahu 'anhuma. Karena, saat beliau Radhiyallahu
'anhuma di Mekah, kewibaannya mengalahkan wibawa para Sahabat lain yang masih
hidup pada masa itu di Mekkah. Beliau Radhiyallahu 'anhuma seorang alim dan
ahli ibadah. Para Sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Karena beliaulah
Ahli Bait yang paling besar.
Jadi Husain Radhiyallahu 'anhuma
sama sekali bukan pemberontak. Oleh karena itu, ketika dalam perjalanannya
menuju Irak dan mendengar sepupunya Muslim bin 'Aqîl dibunuh di Irak, beliau
Radhiyallahu 'anhuma berniat untuk kembali ke Mekkah. Akan tetapi, beliau
Radhiyallahu 'anhuma ditahan dan dipaksa oleh penduduk Irak untuk berhadapan
dengan pasukan 'Ubaidullah bin Ziyâd. Akhirnya, beliau Radhiyallahu 'anhuma tewas
terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid.
SETAN
MENYEBARKAN BID'AH
Syaikhul Islam mengatakan[10],
"Dengan sebab kematian Husain Radhiyallahu 'anhuma, setan memunculkan dua
bid'ah di tengah manusia.
Baca Juga…. Pengertian Syiah
Pertama : Bid'ah kesedihan dan ratapan
para hari Asyûra (di negeri kita ini, acara bid'ah ini sudah mulai
diadakan-pen) seperi menampar-nampar, berteriak, merobek-robek, sampai-sampai
mencaci maki dan melaknat generasi Salaf, memasukkan orang-orang yang tidak
berdosa ke dalam golongan orang yang berdosa. (Para Sahabat seperti Abu Bakar
dan Umar dimasukkan, padahal mereka tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki andil
dosa sedikit pun. Pihak yang berdosa adalah yang terlibat langsung kala itu).
Mereka sampai mereka berani mencaci Sâbiqûnal awwalûn. Kemudian riwayat-riwayat
tentang Husain Radhiyallahu 'anhuma dibacakan yang kebanyakan merupakan
kebohongan. Karena tujuan mereka adalah membuka pintu fitnah (perpecahan) di
tengah umat.
Kemudian Syaikhul Islam
rahimahullah juga mengatakan , "Di Kufah, saat itu terdapat kaum yang
senantiasa membela Husain Radhiyallahu 'anhuma yang dipimpin oleh Mukhtâr bin
Abi 'Ubaid al-Kadzdzâb (karena dia mengaku mendapatkan wahyu-pen). Di Kufah
juga terdapat satu kaum yang membenci 'Ali dan keturunan beliau Radhiyallahu
'anhum. Di antara kelompok ini adalah Hajjâj bin Yûsuf ats-Tsaqafi. Dalam
sebuah hadits shahîh dijelaskan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
سَيَكُوْنُ
فِي ثَقِيْفٍ كَذَّابٌ وَمُبِيْرٌ
"Akan ada di suku Tsaqif
seorang pendusta dan perusak"
Orang Syi'ah yang bernama Mukhtâr
bin Abi 'Ubaid itulah sang pendusta . Sedangkan sang perusak adalah al-Hajjaj.
Yang pertama membuat bid'ah kesedihan, sementara yang kedua membuat bid'ah
kesenangan. Kelompok kedua ini pun meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa
barangsiapa melebihkan nafkah keluarganya pada hari 'Asyûra, maka Allah Azza wa
Jalla melonggarkan rezekinya selama setahun itu."
Juga hadits, "barangsiapa
memakai celak pada hari 'Asyûra, maka tidak akan mengalami sakit mata pada
tahun itu dan lain sebagainya.
Kedua
: Bida'ah yang kedua adalah bid'ah kesenangan pada hari Asyura : Karena itu,
para khatib yang sering membawakan riwayat ini - karena ketidaktahuannya
tentang ilmu riwayat atau sejarah - , sebenarnya secara tidak langsung, masuk
ke dalam kelompok al-Hajjâj, kelompok yang sangat membenci Husain Radhiyallahu
'anhuma. Padahal wajib bagi kita meyakini bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma
terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Dan wajib bagi kita
mencintai Sahabat yang mulia ini dengan tanpa melampaui batas dan tanpa
mengurangi haknya, tidak mengatakan Husain Radhiyallahu anhuma seorang imam
yang ma'sum (terbebas dari semua kesalahan), tidak pula mengatakan bahwa
pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu anhuma itu adalah tindakan yang benar.
Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma adalah tindakan maksiat kepada
Allah dan RasulNya.
Itulah sekilas mengenai beberapa
permasalahan yang berhubungan dengan peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu
'anhuma. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan. Kita memohon kepada Allah
Azza wa Jalla agar menghindarkan kita semua dari berbagai fitnah yang
disebarkan oleh setan dan para tentaranya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Baca juga…. Maksud Mut’ah
______
Footnote
[1]. Syarhu al'Aqidah
al-Wâsithiyyah Syaikh Sholeh al-Fauzan hal.198,
[2]. Minhâjus Sunnah (IV/556)
[3]. Komandan pasukan yang
memerangi Husain, pada tahun 60-61 H di Irak di sebuah daerah yang bernama
Karbala
[4]. Ia disebut orang durhaka,
karena dia tidak diperintah untuk membunuh Husain Radhiyallahu 'anhuma, namun
melakukannya.
[5]. Minhâjus Sunnah (IV/557)
[6]. Lihat Minhâjus Sunnah
(V/557-558)
[7]. Minhâjus Sunnah (IV/550)
[8]. HR. Muslim, kitabul Imârah
[9]. Minhâjus Sunnah (IV/553)
[10]. IV/554
SYAHIDNYA
HUSEIN RADHIALLAHU ‘ANHU DI PADANG KARBALA
-Tulisan berikut ini
diterjemahkan dari tulisan dan sebagian ceramah Syaikh Utsman al-Khomis,
seorang ulama yang terkenal sebagai pakar dalam pembahasan Syiah-.
Pembahasan tentang terbunuhnya
cucu Rasulullalllah, asy-syahid Husein bin Ali ‘alaihissalam telah banyak
ditulis, namun beberapa orang ikhwan meminta saya agar menulis sebuah kisah
shahih yang benar-benar bersumber dari para ahli sejarah. Maka saya pun menulis
ringkasan kisah tersebut sebagai berikut –sebelumnya Syaikh telah menulis
secara rinci tentang kisah terbunuhnya Husein di buku beliau Huqbah min
at-Tarikh-.
Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah
bin Abu Sufyan wafat, penduduk Irak mendengar kabar bahwa Husein bin Ali belum
berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, maka orang-orang Irak mengirimkan utusan
kepada Husein yang membawakan baiat mereka secara tertulis kepadanya. Penduduk
Irak tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah, bahkan mereka
tidak menginginkan Muawiyah, Utsman, Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang
mereka inginkan adalah Ali dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam.
Melalui utusan tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan
membaiat Husein sebagai khalifah.
Baca Juga ….. Mud’ah dalam syi’ah
Setelah surat itu sampai di
Mekah, Husein tidak terburu-buru membenarkan isi surat itu. Ia mengirimkan
sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk meneliti kebenaran kabar baiat ini.
Sesampainya Muslim di Kufah, ia menyaksikan banyak orang yang sangat menginginkan
Husein menjadi khalifah. Lalu mereka membaiat Husein melalui perantara Muslim
bin Aqil. Baiat itu terjadi di kediaman Hani’ bin Urwah.
Kabar ini akhirnya sampai ke
telinga Yazid bin Muawiyah di ibu kota kekhalifahan, Syam, lalu ia mengutus
Ubaidullah bin Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husein masuk ke Irak dan
meredam pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhalifahan. Saat
Ubaidullah bin Ziyad tiba di Kufah, masalah ini sudah sangat memanas. Ia terus
menanyakan perihal ini hingga akhirnya ia mengetahui bahwa kediaman Hani’ bin
Urwah adalah sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan dan di situ juga Muslim
bin Aqil tinggal.
Ubaidullah menemui Hani’ bin
Urwah dan menanyakannya tentang gejolak di Kufah. Ubaidullah ingin mendengar
sendiri penjelasan langsung dari Hani’ bin Urwah walaupun sebenarnya ia sudah
tahu tentang segala kabar yang beredar. Dengan berani dan penuh tanggung jawab
terhadap keluarga Nabi (Muslim bin Aqil adalah keponakan Nabi), Hani’ bin Urwah
mengatakan, “Demi Allah, sekiranya (Muslim bin Aqil) bersembunyi di kedua
telapak kakiku ini, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu!” Ubaidullah
lantas memukulnya dan memerintahkan agar ia ditahan.
Mendengar kabar bahwa Ubaidullah
memenjarakan Hani’ bin Urwah, Muslim bin Aqil bersama 4000 orang yang
membaiatnya mengepung istana Ubaidullah bin Ziyad. Pengepungan itu terjadi di
siang hari.
Ubaidullah bin Ziayd merespon
ancaman Muslim dengan mengatakan akan mendatangkan sejumlah pasukan dari Syam.
Ternyata gertakan Ubaidullah membuat takut Syiah (pembela) Husein ini. Mereka
pun berkhianat dan berlari meninggalkan Muslim bin Aqil hingga tersisa 30 orang
saja yang bersama Muslim bin Aqil, dan belumlah matahari terbenam hanya tersisa
Muslim bin Aqil seorang diri.
Muslim pun ditangkap dan
Ubaidullah memerintahkan agar ia dibunuh. Sebelum dieksekusi, Muslim meminta
izin untuk mengirim surat kepada Husein, keinginan terakhirnya dikabulkan oleh
Ubaidullah bin Ziyad. Isi surat Muslim kepada Husein adalah “Pergilah,
pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah.
Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku.
Orang-orang pendusta itu tidak memiliki pandangan (untuk mempertimbangkan
masalah)”. Muslim bin Aqil pun dibunuh, padahal saat itu adalah hari Arafah.
Husein berangkat dari Mekah
menuju Kufah di hari tarwiyah. Banyak para sahabat Nabi menasihatinya agar
tidak pergi ke Kufah. Di antara yang menasihatinya adalah Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Amr,
saudara tiri Husein, Muhammad al-Hanafiyah dll.
Abu Said al-Khudri radhiallahu
‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang penasihat untukmu, dan aku
sangat menyayangimu. Telah sampai berita bahwa orang-orang yang mengaku sebagai
Syiahmu (pembelamu) di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka mengajakmu untuk
bergabung bersama mereka, janganlah engkau pergi bergabung bersama mereka
karena aku mendengar ayahmu –Ali bin Abi Thalib- mengatakan tentang penduduk
Kufah, ‘Demi Allah, aku bosan dan benci kepada mereka, demikian juga mereka
bosan dan benci kepadaku. Mereka tidak memiliki sikap memenuhi janji sedikit
pun. Niat dan kesungguhan mereka tidak ada dalam suatu permasalahan (mudah
berubah pen.). Mereka juga bukan orang-orang yang sabar ketika menghadapi
pedang (penakut pen.)’.
Abdullah bin Umar radhiallahu
‘anhu mengatakan, “Aku hendak menyampaikan kepadamu beberapa kalimat.
Sesungguhnya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
memberikan dua pilihan kepada beluai antara dunia dan akhirat, maka beliau
memilih akhirat dan tidak mengiginkan dunia. Engkau adalah darah dagingnya,
demi Allah tidaklah Allah memberikan atau menghindarkan kalian (ahlul bait)
dari suatu hal, kecuali hal itu adalah yang terbaik untuk kalian”. Husein tetap
enggan membatalkan keberangkatannya. Abdullah bin Umar pun menangis, lalu
mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan”.
Baca juga…. Mud’ah dalam perceraian
Setelah meneruskan
keberangkatannya, datanglah kabar kepada Husein tentang tewasnya Muslim bin
Aqil. Husein pun sadar bahwa keputusannya ke Irak keliru, dan ia hendak pulang
menuju Mekah atau Madinah, namun anak-anak Muslim mengatakan, “Janganlah engkau
pulang, sampai kita menuntut hukum atas terbunuhnya ayah kami”. Karena
menghormati Muslim dan berempati terhadap anak-anaknya, Husein akhirnya tetap
berangkat menuju Kufah dengan tujuan menuntut hukuman bagi pembunuh Muslim.
Bersamaan dengan itu Ubaidullah
bin Ziyad telah mengutus al-Hurru bin Yazid at-Tamimi dengan membawa 1000
pasukan untuk menghadang Husein agar tidak memasuki Kufah. Bertemulah al-Hurru
dengan Husein di Qadisiyah, ia mencoba menghalangi Husein agar tidak masuk ke
Kufah. Husein mengatakan, “Celakalah ibumu, menjauhlah dariku”. Al-Hurru
menjawab, “Demi Allah, kalau saja yang mengatakan itu adalah orang selainmu
akan aku balas dengan menghinanya dan menghina ibunya, tapi apa yang akan aku
katakan kepadamu, ibumu adalah wanita yang paling mulia, radhiallahu ‘anha”.
Saat Husein menginjakkan kakinya
di daerah Karbala, tibalah 4000 pasukan lainnya yang dikirim oleh Ubaidullah
bin Ziyad dengan pimpinan pasukan Umar bin Saad. Husein mengatakan, “Apa nama
tempat ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Kemudian Husein
menanggapi, “Karbun (musibah) dan balaa’ (bencana).”
Melihat pasukan dalam jumlah yang
sangat besar, Husein radhiallahu ‘anhu menyadari tidak ada peluang baginya.
Lalu ia mengatakan, “Aku ada dua alternatif pilihan, (1) kalian mengawal (menjamin
keamananku) pulang atau (2) kalian biarkan aku pergi menghadap Yazid di Syam.
Engkau pergi menghadap Yazid,
tapi sebelumnya aku akan menghadap Ubaidullah bin Ziyad terlebih dahulu kata
Umar bin Saad. Ternyata Ubadiullah menolak jika Husein pergi menghadap Yazid,
ia menginginkan agar Husein ditawan menghadapnya. Mendengar hal itu Husein
menolak untuk menjadi tawanan.
Terjadilah peperangan yang sangat
tidak imbang antara 73 orang di pihak Husein berhadapan dengan 5000 pasukan
Irak. Kemudian 30 orang pasukan Irak dipimpin oleh al-Hurru bin Yazid at-Tamimi
membelot dan bergabung dengan Husein. Peperangan yang tidak imbang itu
menewaskan semua orang yang mendukung Husein, hingga tersisa Husein seorang
diri. Orang-orang Kufah merasa takut dan segan untuk membunuhnya, masih tersisa
sedikit rasa hormat mereka kepada darah keluarga Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Namun ada seorang laki-laki yang bernama Amr bin Dzi
al-Jausyan –semoga Allah menghinakannya- melemparkan panah lalu mengenai Husein,
Husein pun terjatuh lalu orang-orang mengeroyoknya, Husein akhirnya syahid,
semoga Allah meridhainya. Ada yang mengatakan Amr bin Dzi al-Jausyan-lah yang
memotong kepala Husein sedangkan dalam riwayat lain, orang yang menggorok
kepala Husein adalah Sinan bin Anas, Allahu a’lam. Yang perlu pembaca ketauhi
Ubaidullah bin Ziyad, Amr bin Dzi al-Jausyan, dan Sinan bin Anas adalah pembela
Ali (Syiah nya Ali) di Perang Shiffin.
Ini adalah sebuah kisah pilu yang
sangat menyedihkan, celaka dan terhinalah orang-orang yang turut serta dalam
pembunuhan Husein dan ahlul bait yang bersamanya. Bagi mereka kemurkaan dari
Allah. Semoga Allah merahmati dan meridhai Husein dan orang-orang yang tewas
bersamanya. Di antara ahlul bait yang terbunuh bersama Husein adalah:
1.
Anak-anak Ali bin Abi Thalib: Abu Bakar,
Muhammad, Utsman, Ja’far, dan Abbas.
2.
Anak-anak Husein bin Ali: Ali al-Akbar dan
Abdullah.
3.
Anak-anak Hasan bin Ali: Abu Bakar, Abdullah,
Qosim.
4.
Anak-anak Aqil bin Abi Thalib: Ja’far, Abdullah,
Abdurrahman, dan Abdullah bin Muslim bin Aqil.
5.
Anak-anak dari Abdullah bin Ja’far bin Abi
Thalib: ‘Aun dan Muhammad.
Dari Ummu Salamah bawasanya
Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “…Jibril mengatakan,
“Apakah engkau mencintai Husein wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Tentu” Jibril
melanjutkan, “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau mau, akan aku
tunjukkan tempat dimana ia akan terbunuh.” Kemudian Nabi diperlihatkan tempat
tersebut, sebuah tempat yang dinamakan Karbala. (HR. Ahmad dalam Fadhailu
ash-Shahabah, ia mengatakan hadis ini hasan). Adapun berita-berita bahwa langit
menurunkan hujan darah, dinding-dinding berdarah, batu yang diangkat lalu di
bawahnya terdapat darah, dll. karena sedih dengan tewasnya Husein,
berita-berita ini tidak bersumber dari rujukan yang shahih.
Baca juga…. Sejarah Asyura
Benarkah
Sikap Husein ‘alaihissalam Pergi ke Irak?
Tidak ada kemaslahatan dalam hal
dunia maupun akhirat dari sikap Husein ‘alaihissalam yang keluar menuju Irak.
Oleh karena itu, banyak sahabat Nabi yang berusaha mencegahnya dan melarangnya
berangkat ke Irak. Husein pun menyadari hal itu dan ia sempat hendak pulang,
namun anak-anak Muslim bin Aqil memintanya mengambil sikap atas terbunuhnya
ayah mereka. Husein dengan penuh tanggung jawab tidak lari dari permasalahan
ini. Dari peristiwa ini tampaklah kezaliman dan kesombongan orang-orang Kufah
(Syiah-nya Husein) terhadap ahlul bait Nabi ‘alaihumu ash-shalatu wa salam.
Sekiranya Husein ‘alaihissalam
menuruti nasihat para sahabat tentu tidak terjadi peristiwa ini, akan tetapi
Allah telah menetapkan takdirnya. Terbunuhnya Husein ini tentu saja tidak
sebesar peristiwa terbunuhnya para Nabi, semisal dipenggalnya kepala Nabi Yahya
oleh seorang raja, karena calon istri raja tersebut meminta kepala Nabi Yahya
bin Zakariya sebagai mahar pernikahan. Demikian juga dibunuhnya Nabi Zakariya
oleh Bani Israil, dan nabi-nabi lainnya. Demikian juga dengan dibunuhnya Umar
dan Utsman. Semua kejadian itu lebih besar dibanding dengan peristiwa
dibunuhnya Husein ‘alaihissalam.
Bagaimana Sikap Kita Terhadap Peristiwa
Karbala?
Tidak diperbolehkan bagi umat
Islam, apabila disebutkan tentang kematian Husein, maka ia meratap dengan
memukul-mukul pipi atau merobek-robek pakaian, atau bentuk ratapan yang
semisalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk
golongan kami, orang-orang yang menampar-nampar pipi dan merobek saku bajunya.”
(HR. Bukhari).
Seorang muslim yang baik, apabila
mendengar musibah ini hendaknya ia mengatakan sebuah kalimat yang Allah
tuntunkan dalam firman-Nya,
الَّذِينَ
إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا
إِلَيْهِ رَاجِعونَ
“Orang-orang yang apabila mereka
ditimpa musibah, mereka mengtakan sesungguhnya kami adalah milik Allah dan
kepada-Nya lah kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Tidak pernah diriwayatkan bahwa
Ali bin Husein atau putranya Muhammad, atau Ja’far ash-Shadiq atau Musa bin
Ja’far radhiallahu ‘anhum, para imam dari kalangan ahlul bait maupun selain
mereka pernah memukul-mukul pipi mereka, atau merobek-robek pakaian atau
berteriak-teriak, dalam rangka meratapi kematian Husein. Tirulah mereka kalau
engkau tidak bisa serupa dengan mereka, karena meniru orang-orang yang mulia
itu adalah kemuliaan.
Tidak seperti orang-orang yang
mengaku Syiah (pembela) Husein, Syiahnya ahlul bait Nabi pada hari ini, mereka
merusak anggota tubuh, memukul kepala dan tubuh dengan pedang dan rantai,
mereka katakan kami bangga menyucurkan darah bersama Husein. Demi Allah,
sekiranya mereka berada pada hari dimana Husein terbunuh mereka akan turut
serta dalam kelompok pembunuh Husein karena mereka adalah orang-orang yang
selalu berhianat.
Baca juga …. Sejarah Karbala
Posisi
Yazid Dalam Peristiwa Ini
Dalm permasalahan ini, Yazid sama
sekali tidak turut campur. Aku mengakatakan hal ini bukan untuk membela Yazid
tetapi hanya untuk mendudukan permasalahan yang sebenarnya. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh
Husein. Ini adalah kesepatakan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan
Ubaidullah bin Ziyad agar mencegah Husein untuk memasuki wilayah Irak. Ketika
Yazid mendengar tewasnya Husein, Yazid pun terkejut dan menangis. Setelah itu
Yazid memuliakan keluarga Husein dan mengamankan anggota keluarga yang tersisa
sampai ke daerah mereka. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Yazid merendahkan
perempuan-perempuan ahlul bait lalu membawa mereka ke Syam, ini adalah riwayat
yang batil. Bani Umayyah (keluarga Yazid) selalu memuliakan Bani Hasyim
(keluarga Rasulullah).
Sebelumnya Yazid telah mengirim
surat kepada Husein ketika di Mekah, ternyata saat surat itu tiba Husein telah
berangkat menuju Irak. Surat itu berisikan syair dari Yazid untuk melunakkan hati
Husein agar tidak berangkat ke Irak dan Yazid juga menyatakan kedekatan
kekerabatan mereka. Bibi Yazid, Ummu Habibah adalah istri Rasulullah dan kakek
(Jawa: mbah buyut) Yazid dan Husein adalah saudara kembar.
Kepala
Husein
Tidak ada riwayat yang shahih
yang menyatakan bahwa kepala Husein dikirim kepada Yazid di Syam. Husein tewas
di Karbala dan kepalanya didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Tidak
diketahui dimana makamnya dan makam kepalanya.
Wallahu Ta’ala a’la wa a’lam, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Sumber: almanhaj.net
Diterjemahkan dengan beberapa
tambahkan oleh Nurfitri Hadi
Artikel KisahMuslim.com
By….. Cyber Tauhid
Post A Comment:
0 comments: